Kegiatan menulis
dapat menjadi suatu disiplin rohani yang sejati. Dengan menulis, kita
dibantu untuk memusatkan perhatian, bersentuhan dengan gejolak hati,
menjernihkan budi, menata perasaan yang simpang-siur, merenungkan
pengalaman kita, mengungkapkan penghayatan hidup dengan kemampuan seni,
dan menyimpan peristiwa-peristiwa yang penting dalam ingatan kita.
Menulis juga dapat berguna bagi orang lain, yang mungkin membaca tulisan
kita.
Sering kali pengalaman harian yang sulit, menyusahkan, dan
mengecewakan dapat “diselamatkan” – artinya diberi makna – dengan
menuliskan pengalaman itu. Dengan menulis, kita dapat mengendapkan
pengalaman hidup kita dan dengan demikian menempatkannya dalam
peziarahan hidup kita.
Menulis tidak hanya berarti mencatat pikiran-pikiran yang muncul.
Sering kali kita berkata, “Saya tidak tahu harus menulis apa.
Pikiran-pikiran saya tidak terlalu berharga untuk dituliskan.” Tetapi
tidak jarang tulisan yang baik muncul dari proses menulis itu sendiri.
Kalau kita mulai duduk, dengan selembar kertas di atas meja dan alat
tulis di tangan - atau komputer di depan kita, dan kita mulai
mengungkapkan isi pikiran dan hati kita dalam kata-kata, sering kali
pikiran-pikiran baru muncul. Tidak jarang pikiran-pikiran baru itu
mengejutkan diri kita sendiri dan menuntun kita masuk ke dalam ruangan
batin kita, yang tidak kita sadari sebelumnya.
Salah satu hal yang dapat amat memberikan kepuasan dalam
tulis-menulis adalah bahwa kegiatan ini dapat membuka suatu sumber yang
menyimpan “harta-karun” yang amat berguna bagi diri kita dan orang lain
juga.
Demikianlah kegiatan menulis dapat “menyelamatkan” hidup kita, dan tidak jarang “menyelamatkan” orang lain juga. (Bread for the Journey)
Sumber: intisari_online.com