Hampir semua stasiun televisi di Indonesia menampilkan adegan kekerasan sebagai menu utamanya.
Anak-anak meniru
Hasil
pengamatan Mazdalifah menunjukkan anak-anak balita telah melakukan
beberapa peniruan terhadap apa yang telah mereka tonton di televisi.
Hal itu mereka lakukan, karena hampir setiap hari menyaksikan bermacam adegan, termasuk di dalamnya kekerasan.
"Saat
ini banyak stasiun televisi yang menayangkan sinetron, pada jam utama
yang banyak bermuatan kekerasan, baik dalam bentuk kekerasan ringan
seperti, ucapan kasar maupun kkerasan berat seperti tindakan membunuh,"
katanya.
Secara sederhana, katanya, bentuk peniruan yang dilakukan anak-anak adalah ucapan kasar dalam permainan dengan teman sebaya.
Atau
mereka menendang, memukul, mendorong, saat bermain dengan temannya.
Televisi mendorong anak meniru dan melakukan tindakan menyerang.
Komisi
Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), Arist Merdeka Sirait mengatakan
sangat banyak adegan yang tak pantas dilihat anak-anak itu dalam
berbagai sinetron, berita atau tayangan reka ulang kasus pembunuhan yang
ditayangkan televisi.
Banyak orangtua yang datang ke Komnas PA
dengan kasus anaknya mencoba bunuh diri mengatakan, anak-anaknya sering
nonton berbagai tayangan kekerasan di televisi tanpa pengawasan atau
bimbingan orangtua.
"Padahal, anak-anak kan belum bisa menilai
mana yang baik dan buruk. Ibaratnya mereka itu seperti kertas putih yang
bisa dipengaruhi oleh berbagai faktor. Mulai faktor keluarga dan
lingkungan," ujarnya.
Komnas PA juga menyebutkan, berdasarkan
penelitian dari tahun 2006 hingga akhir 2009, terungkap sebanyak 68
persen tayangan di 13 stasiun televisi mayoritas mengandung kekerasan.
"Tidak
ada pilihan (tayangan) buat anak. KPI lemah karena mandatnya lemah.
Dia hanya bisa memberi sanksi administrasi," katanya.
Memang
televisi bisa berdampak kurang baik bagi anak-anak, tetapi melarang
mereka sepenuhnya untuk menonton televisi juga tidak tepat.Yang lebih
bijaksana menurut Ketua Komnas PA adalah mengontrol tayangan televisi
bagi anak-anak.
"Setidaknya anak-anak diberi pemahaman tayangan
mana yang bisa mereka tonton dan mana yang tidak boleh. Orangtua perlu
mendampingi anak-anaknya saat menonton televisi. Selain membangun
komunikasi dengan anak, hal ini bisa mengurangi dampak negatif televisi
bagi anak. Kebiasaan secara sehat ini mesti dimulai sejak usia dini,"
katanya.
Di lain pihak, pengelola program tayangan televisi pun
punya tanggungjawab untuk melakukan penyaringan acara-acara yang
seronok, apalagi tayangan-tayangan iklan dengan menampilkan kemulusan
kulit perempuan yang bisa disebut 70 persen sudah telanjang.
Tentang
kewenangan KPI yang katanya berperan sebagai lembaga pengontrol program
tayangan televisi, dia mempertanyakan sudah seberapa banyak tayangan
televisi yang berhasil dihentikan karena tidak sesuai dengan aturan dan
budaya Indonesia.
Pakar komunikasi Undip Triyono Lukmantoro
mengatakan, aksi kekerasan yang ditayangkan di televisi sebaiknya jangan
dipertontonkan secara eksesif.
Dia mendukung langkah Dewan Pers yang kemudian meminta stasiun-stasiun televisi untuk menstop menyiarkan peristiwa kekerasan.
"Media
televisi memiliki kekuatan visualisasi luar biasa yang bisa memengaruhi
penonton untuk meniru apa yang ditayangkan. Apalagi, jika penontonnya
adalah kalangan anak-anak," katanya.
Menyikapi tayangan aksi
kekerasan di televisi, dia berpendapat, seharusnya yang paling berperan
aktif adalah KPI atau KPID. Mereka harus bersikap ketika melihat
televisi yang eksesif menyiarkan aksi kekerasan.
Pendapat Triyono
agaknya patut disimak, KPI dan KPID harus lebih responsif dalam
mengawasi program siaran lembaga penyiaran dan jangan menunggu pengaduan
dari masyarakat, sekaligus mengantisipasi ditayangkannya aksi kekerasan
secara eksesif.
Ke depan, perlu ada pengawasan lebih ketat terhadap tayangan televisi, terutama yang berbau kekerasan dan seksualitas.